Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Begitulah kata Bung Karno, bapak proklamator sekaligus presiden pertama RI. Setelah 66 tahun Indonesia merdeka, tak sedikit para vetaran perang kemerdekaan yang hidup menderita. Sungguh ironi bagi bangsa ini yang tidak menghargai perjuangan pahlawan mereka. Kalau bukan karena pengorbanan para pejuang tersebut, Indonesia tidak akan dapat meraih kemerdekaannya. Parahnya lagi para pejuang yang telah berkorban dengan keringat dan darah seolah terlupakan. Kehidupan ratusan veteran perang di sejumlah daerah sungguh memprihatinkan. Mereka hidup dengan sangat kekurangan. Di tengah usia mereka yang sudah lebih separuh abad, mereka tidak dapat merasakan nikmatnya dunia, tetapi masih harus menjalani hari-hari dengan bekerja untuk mencari sesuap nasi. Ada banyak veteran perang kita yang mengalami nasib yang bisa dikatakan sangat malang.
Silam, seorang lelaki tua yang tinggal di Desa Pelang, Kecamatan Kembangbahu, Lamongan Jawa Timur. Ia menjadi tukang sapu di gereja dan Balai Desa Pelang. Untuk pekerjaannya itu ia mendapatkan upah sebesar Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per bulan. Jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan mahalnya harga kebutuhan saat ini. Namun, uang sejumlah itu baginya sangat berharga untuk tambahan uang pensiunnya sebesar Rp 600 ribu per bulan. Meski demikian, Silam cukup bangga dengan apa yang dilakukannya. Pada usianya yang menjelang satu abad, ia tetap tidak membebani orang lain.
Gunawan, mantan kopral yang sekarang berusia 80 tahun, ia harus bekerja sebagai sopir alat berat di Jambi. Sewaktu muda dia berjuang di kesatuan kompi Merdeka Resimen Sumatera era 1948. Gunawan menjadi teknisi berbagai alat perang untuk mengusir penjajah Belanda yang membonceng NICA (Netherland Indie Civil Administration) dari daratan Sumatra bagian Tengah. Meski sejumlah dokumen menyatakan pejuang, Gunawan tetap tak dapat mencicipi dana pensiun veteran. Dilupakan negara tidak menyurutkan hidupnya. Gunawan juga tak mau berpangku tangan. Dia bertekad terus berjuang seumur hidup untuk terus bertahan di negeri ini.
Samsuri, seorang veteran kemerdekaan yang sudah berusia 91 tahun ini terpaksa harus mengetuk pintu-pintu kantor untuk menyambung hidupnya. Meskipun sudah tua, langkah Samsuri terlihat masih tegap. Sikap dan atributnya masih sama seperti saat dia aktif sebagai pejuang di front Ambarawa, Jawa Tengah. Namun, dia kini tak lagi memanggul senjata. Pria tua ini kemana-mana membawa sejumlah barang dagangan, seperti permen jahe dan jamu-jamuan. Dia terpaksa mengumpulkan rupiah demi rupiah karena tunjangan pensiunnya tak seberapa. Samsuri masih memiliki patriotisme. Dengan caranya sendiri dia mengingatkan arti perjuangan kemerdekaan 66 tahun silam.
Inilah jalan hidup sebagian para veteran perang setelah melawan penjajah. Kemerdekaan bagi mereka belumlah usai. Mereka bukan lagi berperang melawan penjajah tetapi mereka harus berperang melawan kebutuhan perut dan usia yang terus menua dengan pasti. Kisah nyata di atas hanyalah beberapa potret para veteran. Masih banyak lagi nasib para veteran perang yang harus berjuang melawan nasib di tengah usianya yang sudah melebihi dari separuh abad.
Mereka tidak mendapatkan penghargaan dan kehidupan yang layak meski di masa lalu telah mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan. Kita sangat berharap pemerintah memperdulikan nasib para veteran perang yang sangat memilukan ini.
sumber : jadiberita.com/5800/catatan-pilu-kemerdekaan-di-mata-mantan-para-veteran.htmlTweet